Friday 8 March 2013

A Scrap Thought About Movie: OSAMA


SHE IS A BOY NAMED OSAMA


NEW YORK TIMES - Osama has no special resiliency or survival skills; her face is at every moment, a study in suppressed panic and worried passivity. Her unvarnished vulnerability, along with the director's combination of tough-mindedness and lyricism, prevents the movie from becoming at all sentimental; instead, it is beautiful, thoughtful and almost unbearably sad.


Seorang anak perempuan, cantik dan berbakti kepada ibunya, bertanya-tanya dalam hati: apa yang sedang terjadi? Dirinya berdiri di tengah perang. Perang antara hak asasi manusia dan otoritas sebelah pihak. Antara hati nurani dan moncong senapan. Dan dia terlahir sebagai pihak yang kalah. Jangankan masa kanak-kanak yang normal dengan taman bermain, boneka dan buku cerita, rasa aman saja tidak pernah dikenalnya. Neneknya adalah buku ceritanya tiap malam, dengan kisah sama yang selalu mengantar tidurnya. Tangan-tangan mungilnya selalu merindukan kehangatan dan kelembutan selembar roti. Begitu pula bibir dan perutnya. Tidak pernah sekalipun mendengar kata Barbie atau Teddy. Jalanan kotor dan rusak kota Kabul adalah taman bermain, sekaligus batas dunianya. Tempurungnya. Penjara hidupnya. Umurnya sekitar 12 tahun, dan hanyalah senyum ibunya pemandangan indah yang pernah ia lihat.

Kotor dan rusaknya jalanan kota Kabul tidaklah cukup mewakili hati dan pikiran para orang Taliban yang hidup di sana. Mereka lebih parah. Seakan dirinya Tuhan, mereka membuat warga Afganistan berlutut pasrah. Para lelaki bekerja kasar. Para wanita dilarang bekerja. Semua keputusan ada di tangan ‘Sang Juri’, seorang Taliban yang berlagak layaknya malaikat penentu hidup manusia. Namun jangan terkecoh dengan sebutannya sebagai Sang Juri, karena tidak ada keadilan sama sekali di sana. Hukuman mati bagi para non-Taliban adalah hal umum. Sepihak dan tidak ada yang bisa berbuat apa-apa, seperti semut yang protes terhadap sepatu boot. Ironisnya, para Taliban selalu berteriak dengan bangga dan khidmatnya, Allahu Akbar!, sebelum mereka mulai melakukan berbagai perbuatan yang akan membuat meringis seisi surga. Dimanakah hati nurani mereka? Apakah yang mereka pelajari dari agamanya? Mereka, para Taliban, menyebut dirinya sebagai penyembah Tuhan, tapi perbuatan mereka begitu kejam dan tak berperikemanusiaan. Bahkan para setan di neraka akan kagum melihat betapa jahat dan bodohnya mereka. Sebegitu dangkalkah pengetahuan mereka akan agamanya sendiri? Sehingga memperlakukan sesamanya manusia, bahkan seagama, seperti itu. Di manakah letak awal kesalahannya? Agamakah? Manusia? Atau Tuhan?

Satu hal yang diketahui sang anak perempuan adalah hidupnya tidak akan membaik dalam waktu dekat. Ibunya yang janda dan neneknya yang renta tidak bisa melakukan apa-apa lagi, bahkan untuk memperoleh selembar roti. Tidak juga dia. Tidak juga satupun perempuan di negeri itu. Pergulatan batin terjadi di hati ibunya. Apakah harus putrinya yang berbuat sesuatu? Tidakkah ada harapan lain yang bisa dirinya lakukan sendiri? Namun, bagaimana mereka bertahan hidup tanpa makanan sama sekali? Malam itu, ketakutan akan kelaparan berhasil memukul mundur rasa khawatir atas keselamatan putrinya. Keinginan untuk tetap survive keluar sebagai pemenang. Apapun pengorbanan yang harus ditanggungnya, atau putrinya. Maka sejak malam itu, sang anak perempuan harus memakai topeng seorang anak laki-laki, berpakaian baju bekas bapaknya, dan pergi bekerja esok harinya. Tangan-tangan mungilnya memang kembali bisa menggenggam roti hangat di akhir hari, namun cambuk ketakutan terus melukai hati kecilnya. Ia tahu hidupnya selalu terancam setiap kali ia keluar rumah. Tidak peduli sependek apapun rambutnya, setegap apapun cara berjalannya, serendah apapun nada suaranya. Bahkan sekalipun dirinya sekarang bernama Osama. Ketidakadilan yang mengatasnamakan agama dan Tuhan telah menyakitinya sebegitu dalam.


Perasaan iba tidaklah mendominasi perasaan saya ketika menonton film ini. Tidak lagi. Rasa marah, kesal dan getir menampar wajah saya bolak-balik. Ingin meledak rasanya kelenjar air mata saya menahan rasa perih tamparan tadi. Padahal cerita ini hanyalah sebagian kecil akibat nyata dari praktek ketololan manusia yang men-Tuhankan agamanya. Tidak perlu jauh-jauh mencari ke Afganistan, di negeri sendiri saja banyak yang seperti itu. Mungkin tidak ada regim Taliban yang menjajah kebebasan kita, tapi pola pikir busuk yang sama sudah lama hidup di kepercayaan orang akan agama sebatas bentuknya saja, bukan substansinya. Parasit yang membawa DNA fanatisme berlebihan hinggap di otak para pecinta kekerasan, sehingga lahirlah para mutan beragama yang menganut anarkisme sebagai pewartaan kitab sucinya. Atau apakah justru umat yang mengerti esensi beragama adalah anomali? Yang hidup sebagai minoritas pembawa gen keanehan bernama cinta kasih dan pengertian. Bukan sekedar follower yang memakai agama sebagai topeng, formalitas, ataupun senjata pembunuh massal. Tidak jelas siapa yang mana. Yang pasti, fenomena yang terus-menerus terjadi di seluruh dunia dari waktu ke waktu, bukanlah lagi sebuah perkara kecil yang bisa dimaklumi begitu saja. Pengetahuan tentang agama, Tuhan dan cinta kasih tidaklah kabur, namun tidak banyak yang mau memahami sepenuhnya. Sebagian besar membuka kitab suci hanya untuk mencari apa yang menguntungkan bagi hidup mereka saat itu, tanpa didalami makna sebenarnya. Dibaca setengah, setelah dapat, langsung ditinggalkan begitu saja. Terpuruk di bawah lembar-lembar rencana pemenuhan nafsu dan ego busuk mereka. Malah terkadang kebusukkannya berhasil dikamuflasekan sedemikian rupa sehingga terlihat sebagai pencerminan perintah Allah. Dan kita pun mungkin pernah termakan muslihat itu.

Seandainya umat beragama mau mengerti makna dari agamanya sendiri, secara substansinya, tidak akan ada lagi kekerasan untuk membela nama Tuhan. Tidak akan ada manusia korup yang mengendalikan umat polos dan fanatik, tidak akan ada peperangan dan kebencian antar umat beragama, tidak juga ada penjajahan suatu bangsa. Tidak perlu lagi si gadis kecil menjadi Osama. Tidak perlu lagi ia mengorbankan masa kanak-kanaknya dan mempertaruhkan hidupnya setiap hari. Tidak perlu lagi ada korban nyawa dalam penerapan ajaran agama manapun. Bahkan, mungkin tidak perlu lagi ada agama yang bermacam-macam. Semua telah melebur menjadi satu, merangkum semua tujuan beragama dan ber-Tuhan ke dalam pemahaman yang tertinggi: cinta. Cinta kepada Tuhan dan cinta kepada sesama umat manusia.

No comments:

Post a Comment