SHE IS A BOY NAMED OSAMA
NEW YORK TIMES - Osama has no special resiliency or survival skills; her face is at every moment, a study in suppressed panic and worried passivity. Her unvarnished vulnerability, along with the director's combination of tough-mindedness and lyricism, prevents the movie from becoming at all sentimental; instead, it is beautiful, thoughtful and almost unbearably sad.
Seorang anak
perempuan, cantik dan berbakti kepada ibunya, bertanya-tanya dalam hati: apa
yang sedang terjadi? Dirinya berdiri di tengah perang. Perang antara hak asasi
manusia dan otoritas sebelah pihak. Antara hati nurani dan moncong senapan. Dan
dia terlahir sebagai pihak yang kalah. Jangankan masa kanak-kanak yang normal
dengan taman bermain, boneka dan buku cerita, rasa aman saja tidak pernah
dikenalnya. Neneknya adalah buku ceritanya tiap malam, dengan kisah sama yang
selalu mengantar tidurnya. Tangan-tangan mungilnya selalu merindukan kehangatan
dan kelembutan selembar roti. Begitu pula bibir dan perutnya. Tidak pernah
sekalipun mendengar kata Barbie atau Teddy. Jalanan kotor dan rusak kota
Kabul adalah taman bermain, sekaligus batas dunianya. Tempurungnya. Penjara
hidupnya. Umurnya sekitar 12 tahun, dan hanyalah senyum ibunya pemandangan indah
yang pernah ia lihat.
Kotor dan
rusaknya jalanan kota Kabul tidaklah cukup mewakili hati dan pikiran para orang
Taliban yang hidup di sana. Mereka lebih parah. Seakan dirinya Tuhan, mereka
membuat warga Afganistan berlutut pasrah. Para lelaki bekerja kasar. Para
wanita dilarang bekerja. Semua keputusan ada di tangan ‘Sang Juri’, seorang
Taliban yang berlagak layaknya malaikat penentu hidup manusia. Namun jangan
terkecoh dengan sebutannya sebagai Sang Juri, karena tidak ada keadilan sama
sekali di sana. Hukuman mati bagi para non-Taliban adalah hal umum. Sepihak dan
tidak ada yang bisa berbuat apa-apa, seperti semut yang protes terhadap sepatu
boot. Ironisnya, para Taliban selalu berteriak dengan bangga dan khidmatnya,
Allahu Akbar!, sebelum mereka mulai melakukan berbagai perbuatan yang akan membuat meringis seisi
surga. Dimanakah hati nurani mereka? Apakah yang mereka
pelajari dari agamanya? Mereka, para Taliban, menyebut dirinya sebagai
penyembah Tuhan, tapi perbuatan mereka begitu kejam dan tak berperikemanusiaan.
Bahkan para setan di neraka akan kagum melihat betapa jahat dan bodohnya mereka.
Sebegitu dangkalkah pengetahuan mereka akan agamanya sendiri? Sehingga
memperlakukan sesamanya manusia, bahkan seagama, seperti itu. Di manakah letak
awal kesalahannya? Agamakah? Manusia? Atau Tuhan?
Satu hal yang
diketahui sang anak perempuan adalah hidupnya tidak akan membaik dalam waktu
dekat. Ibunya yang janda dan neneknya yang renta tidak bisa melakukan
apa-apa lagi, bahkan untuk memperoleh selembar roti. Tidak juga dia. Tidak juga satupun
perempuan di negeri itu. Pergulatan batin terjadi di hati ibunya. Apakah harus
putrinya yang berbuat sesuatu? Tidakkah ada harapan lain yang bisa dirinya
lakukan sendiri? Namun, bagaimana mereka bertahan hidup tanpa makanan sama
sekali? Malam itu, ketakutan akan kelaparan berhasil memukul mundur rasa khawatir atas keselamatan
putrinya. Keinginan untuk tetap survive keluar
sebagai pemenang. Apapun pengorbanan yang harus ditanggungnya, atau putrinya.
Maka sejak malam itu, sang anak perempuan harus memakai topeng seorang anak
laki-laki, berpakaian baju bekas bapaknya, dan pergi bekerja esok harinya.
Tangan-tangan mungilnya memang kembali bisa menggenggam roti hangat di akhir
hari, namun cambuk ketakutan terus melukai hati kecilnya. Ia tahu hidupnya
selalu terancam setiap kali ia keluar rumah. Tidak peduli sependek apapun
rambutnya, setegap apapun cara berjalannya, serendah apapun nada suaranya.
Bahkan sekalipun dirinya sekarang bernama Osama. Ketidakadilan yang
mengatasnamakan agama dan Tuhan telah menyakitinya sebegitu dalam.
Perasaan
iba tidaklah mendominasi perasaan saya ketika menonton film ini. Tidak lagi.
Rasa marah, kesal dan getir menampar wajah saya bolak-balik. Ingin meledak
rasanya kelenjar air mata saya menahan rasa perih tamparan tadi. Padahal cerita
ini hanyalah sebagian kecil akibat nyata dari praktek ketololan manusia yang
men-Tuhankan agamanya. Tidak perlu jauh-jauh mencari ke Afganistan, di negeri
sendiri saja banyak yang seperti itu. Mungkin tidak ada regim Taliban yang
menjajah kebebasan kita, tapi pola pikir busuk yang sama sudah lama hidup di
kepercayaan orang akan agama sebatas bentuknya saja, bukan substansinya.
Parasit yang membawa DNA fanatisme berlebihan hinggap di otak para pecinta
kekerasan, sehingga lahirlah para mutan beragama yang menganut anarkisme
sebagai pewartaan kitab sucinya. Atau apakah justru umat yang mengerti esensi beragama
adalah anomali? Yang hidup sebagai minoritas pembawa gen keanehan bernama cinta
kasih dan pengertian. Bukan sekedar
follower
yang memakai agama sebagai topeng, formalitas, ataupun senjata pembunuh
massal. Tidak jelas siapa yang mana. Yang pasti, fenomena yang terus-menerus
terjadi di seluruh dunia dari waktu ke waktu, bukanlah lagi sebuah perkara
kecil yang bisa dimaklumi begitu saja. Pengetahuan tentang agama, Tuhan dan
cinta kasih tidaklah kabur, namun tidak banyak yang mau memahami sepenuhnya.
Sebagian besar membuka kitab suci hanya untuk mencari apa yang menguntungkan
bagi hidup mereka saat itu, tanpa didalami makna sebenarnya. Dibaca setengah,
setelah dapat, langsung ditinggalkan begitu saja. Terpuruk di bawah
lembar-lembar rencana pemenuhan nafsu dan ego busuk mereka. Malah terkadang kebusukkannya
berhasil dikamuflasekan sedemikian rupa sehingga terlihat sebagai pencerminan
perintah Allah. Dan kita pun mungkin pernah termakan muslihat itu.
Seandainya
umat beragama mau mengerti makna dari agamanya sendiri, secara substansinya, tidak
akan ada lagi kekerasan untuk membela nama Tuhan. Tidak akan ada manusia korup
yang mengendalikan umat polos dan fanatik, tidak akan ada peperangan dan
kebencian antar umat beragama, tidak juga ada penjajahan suatu bangsa. Tidak
perlu lagi si gadis kecil menjadi Osama. Tidak perlu lagi ia mengorbankan masa
kanak-kanaknya dan mempertaruhkan hidupnya setiap hari. Tidak perlu lagi ada
korban nyawa dalam penerapan ajaran agama manapun. Bahkan, mungkin tidak perlu
lagi ada agama yang bermacam-macam. Semua telah melebur menjadi satu, merangkum
semua tujuan beragama dan ber-Tuhan ke dalam pemahaman yang tertinggi: cinta.
Cinta kepada Tuhan dan cinta kepada sesama umat manusia.